Semester pertama 2008 telah dilewati. Semua kalangan menyadari ekonomi global tengah amburadul. Harga minyak dunia melambung hingga US$130 per barel. Harga BBM sudah naik. Efek domino seperti kenaikan harga bahan pokok tak dapat dihindari. Belum lagi isu kompetisi bahan pangan dengan bioenergi memicu harga bahan pangan melonjak. Apalagi hari raya umat Islam tinggal dalam hitungan bulan. Intinya, kehidupan semakin sulit. Bagaimana nasib pemain tanaman hias?
Tentu saja harga kebutuhan nonprimer-seperti tanaman hias-ikut terpengaruh. Agenda belanja masyarakat untuk tanaman hias berada di deretan paling belakang. Kalangan pengusaha nonpertanian boleh bilang, apa kepentingan bisnis tanaman hias di tengah terpuruknya ekonomi global. Mereka menganggap peminat tanaman itu middle up. Namun, kalangan itu juga saat ini ikut waswas. Sejujurnya penggemar tanaman hias adalah segala kalangan, maka kalangan menengah ke bawah paling terpukul.
Padahal setahun lalu, masih segar dalam ingatan, pedagang tanaman hias mengalami euforia luar biasa. Pamor tanaman-anthurium dan aglaonema-melesat. Ia bahkan dipandang sebagai barang investasi. Masyarakat mengalami apa yang disebut gegar budaya, struktur otak di kepala jadi jungkir balik. Mengeja dan menghitung uang Rp100-juta dan Rp1-miliar seperti menghitung gula-gula meski tak tahu berapa jumlah nolnya. Anthurium seharga Rp30-juta-Rp75-juta dianggap biasa.
Ketika itu-dari satu perspektif-Indonesia tampak makmur lohjinawi. Semangat kewirausahaan melambung tinggi. Ada bocah yang masih di sekolah dasar di Solo menjadi juragan anthurium. Setiap pulang sekolah, ia bermain SMS, tahu-tahu mengantongi jutaan rupiah. Saat itu Bupati Karanganyar Hj Rina Iriani mengaku pendapatan warganya mencapai Rp3-juta-Rp7-juta per bulan berkat anthurium. Karanganyar menjadi ibukota anthurium. Wonogiri, Magelang, Yogyakarta, dan Solo pun ikut jadi ibukota.
Kini kita terjaga dari kesurupan dan mimpi indah. Kenyataan tak sama dengan mimpi. Kita merasa heran jika mengenang tanaman hias berharga Rp1-miliar dan pernah menawar separuhnya. Kita kaget ternyata semua orang memiliki tanaman dari keluarga Araceae itu. Yang mengejutkan tanaman bersosok besar itu kini sudah beranak-pinak, menghasilkan puluhan sampai ratusan ribu bahkan jutaan biji atau bibitan. Dua tiga tahun ke depan mereka menjadi jutaan tanaman bersosok raksasa.
Kini tanaman itu hampir 'menenggelamkan' Pulau Jawa, terutama Jawa Tengah. Setiap hari di Jawa Tengah terlihat orang sibuk mengangkuti anthurium ke mana saja, termasuk ke luar pulau untuk memasarkan dengan harga rendah. Dengan semangat, maaf, 'membuang limbah'.
Tanaman yang konon digemari para bangsawan itu kini ngumpul, beranakpinak, tumbuh, dan berkembang di sebuah ruangan yang tak berjendela atau berpintu. Bila tak ada upaya menjual ke luar negeri, mungkin giliran negeri ini yang bakal tenggelam. Pedagang tanaman hias kebingungan, tersinggung sedikit mengamuk karena mereka tengah memeluk bola panas yang belum sempat dilepaskan.
Dulu Gregorius Garnadi Hambali pernah dituduh sebagai 'orang sirik' karena selagi banyak orang menimang anthurium, ia menulis: 'lonceng kematian bisnis anthurium semakin dekat berdentang' (baca: Belum Tentu Seindah Induk, Trubus Oktober 2007). Rhenald Kasali pun pernah dihujat karena mengatakan bisnis anthurium seperti ikan lou han. (baca: Pop Marketing Anthurium, Trubus Desember 2007). Kenapa kita tidak waspada? Waktu itu kita bilang: Emang siapa Rhenald? Dia tak tahu tanaman.
Sesungguhnya yang membuat tekanan psikologis pedagang tanaman hias ialah teman yang dulu berdatangan mengaku pemain anthurium kini menghilang entah ke mana. Di saat sepi mencekam seperti ini, idealnya, kita saling bertemu untuk saling curhat. Nyatanya mereka menghilang. Kemungkinan kembali ke profesi semula karena menganggap bisnis tanaman tak ada prospek.
Di saat terjaga baru disadari jumlah penjual atau pedagang anthurium, sekarang meningkat hampir 600-700 persen dibanding dua tahun sebelumnya. Pantas saja semua orang bersikap menjual daripada membeli. Baru kita mau menjual, orang lebih dulu menawari.
Ada yang mengatakan bisnis yang sepi tak hanya anthurium. Aglaonema, sansevieria, puring, dan philodendron juga serupa. Namun, itu tak sepenuhnya tepat. Penjualan tetap berjalan. Hanya pembelian partai yang tak ada sama sekali. Banyak kolega bertanya: apa orang Indonesia sudah tidak lagi menyukai tanaman hias?
Sebetulnya harga tanaman sampai semester pertama 2008, praktis dibilang stabil, bahkan cenderung turun. Di pameran orang sibuk membanting harga. Namun, orang masih malas masuk ke lapak, membuat transaksi. Situasi yang terjadi saat ini seperti anomali: aneh, tak terbaca, tak tertebak, dan tak teraba. Cuaca dan perekonomian disebut sebagai biang keladi. Kebutuhan masyarakat meningkat dan daya beli justru merosot. Analisis yang menghibur mengatakan situasi ini tak hanya dialami oleh tanaman hias. Toko mas, tukang kelontong, penerbit buku, dan majalah pun mengalami nasib serupa: sepi.
Dari perspektif sempit, saya berpendapat, rakyat masih marah, kecewa, dan dendam pada anthurium yang dianggap menyengsarakan. Sebagian lain mengalami paranoid atau phobia akut sehingga benci pada semua tanaman. Ada juga kesal pada pedagang tanaman yang dianggap menjerumuskan hidup. Majalah atau tabloid tanaman hias ikut dimusuhi. Ketika mereka mencoba menawarkan alternatif baru, mereka langsung dicurigai, dianggap menyesatkan, dan menjerumuskan dalam mimpi sorga.
Saya bukan pakar ekonomi dan bukan paranormal. Saya sekadar pencinta tanaman hias. Jadi anjuran saya, cuci muka adalah cara terbaik setelah kita bangun tidur. Maksudnya, supaya wajah kita segar dan pandangan tidak nanar. Dengan itu kita pasti akan lebih mahir dan cerdas menyongsong hari esok.
Maksudnya, bila nanti muncul jagoan tanaman hias baru, selalu ambil posisi yang jelas. Kalau mau jadi pedagang, jadilah pedagang sejati, bukan spekulan atau penjudi. Jangan mencoba-coba menahan harga dengan harapan harga naik terus. Anthurium mengajarkan kita bahwa spekulan-seperti penjudi-yang hanya mengenal istilah kalah dan menang.
Bila memilih menjadi breeder, jadilah breeder sejati dan profesional. Jangan jadi breeder merangkap pedagang. Pedagang berpikir jangka cepat, menjual hanya barang yang fast moving. Sebaiknya seorang breeder atau petani mesti bersabar: berpikir jangka menengah dan jangka panjang.
Yang tak kalah penting, jangan menuding pihak lain sebagai pembuat harga tanaman terjun bebas. Dalam kasus anthurium, yang disalahkan barang impor. Kita lihat sendiri, yang bikin ulah ternyata kita sendiri. Sangat konyol, pistol kita arahkan ke depan, teman di belakang justru menohok kita.
Dan yang juga penting dicatat, kita sekarang tahu betapa pentingnya peran pemerintah untuk membantu membuka keran ekspor seluas-luasnya. Pemeritah harus tahu bahwa kita punya potensi, yang selama ini tidak pernah diperhitungkan. Ke depan mungkin Departemen Luar Negeri mesti dilibatkan mempromosikan tanaman Indonesia sehat dan bebas hama. Sementara Departemen Pertanian, atau pihak terkait di Indonesia harus menyederhanakan semua aturan yang bikin susah sekaligus memberi insentif kepada pengekspor. Bila Thailand bisa, kenapa kita tidak?
Ringkasnya, anthurium sudah memberi banyak pelajaran berharga bagi kita. Tapi jangan mau terpenjara oleh masa lalu, betapa pun indahnya masa lalu itu.
(Kurniawan Junaedhie, wartawan & pencinta tanaman hias)
No comments:
Post a Comment