Jekethek.Blogspot.com Kisruh yang mengoyak sepak bola nasional sejatinya berawal dari keinginan untuk memperbaiki kondisi sepak bola pasca-tergulingnya rezim Nurdin Halid. Namun, turunnya Nurdin ternyata tidak membuat keadaan lebih baik.
Elit-elit sepak bola Indonesia tetap tidak bisa bersatu seperti yang dicita-citakan bersama saat menggusur Nurdin. Kepengurusan baru yang terpilih, gagal merangkul pihak-pihak yang berseteru untuk menuju sepak bola yang lebih baik.
Gerbong reformasi sepak bola itu justru terbelah. Selain kubu PSSI - yang notebene diakui FIFA - elit sepak bola nasional lainnya membentuk federasi tandingan, Komite Penyelamat Sepak bola Indonesia (KPSI).
Pangkal masalah terbelahnya elit sepak bola nasional ini tak lain adalah soal kompetisi liga. Dua kubu itu saling mengklaim sebagai pengelola sah kompetisi sepak bola nasional. PSSI dengan Liga Primer Indonesia (IPL) dan KPSI dengan Liga Super Indonesia (LSI).
Selanjutnya, perang antara dua kubu itu makin sengit. PSSI menuduh KPSI adalah lembaga ilegal. Sebaliknya, KPSI mengklaim PSSI sudah tidak memiliki legitimasi lagi karena sebagian besar anggotanya sudah mengeluarkan mosi tidak percaya. Saling klaim dan tuding inilah yang hingga kini menjadi duri dalam dagin sepak bola nasionaal.
Berbagai upaya ditempuh untuk mendamaikan kedua kubu. Mulai pemerintah, konfederasi sepak bola Asia (AFC), hingga FIFA telah turun tangan. Namun, permasalahan tak kunjung selesai, bahkan bisa dibilang semakin kusut.
Keadaan makin runyam saat Menteri Pemuda Olah Raga (Menpora) Andi Mallarangeng mengundurkan diri. Agung Laksono yang ditunjuk sebagai pelaksana tugas (Plt) Menpora juga gagal mencapai kata sepakat dengan kedua kubu. Hasilnya, KPSI dan PSSI menggelar kongres sendiri-sendiri.
Sepak bola Indonesia pun di ambang ketidakpastian. Padahal, pesan FIFA dan AFC sudah jelas: jika hingga 10 Desember konflik sepak bola tidak selesai, Indonesia akan dikenai sanksi. Sanksi sangat berat, keanggotaan Indonesia di FIFA akan dibekukan, yang artinya Tim Merah Putih tidak bisa mengikuti kompetisi internasional.(Metronews)
Elit-elit sepak bola Indonesia tetap tidak bisa bersatu seperti yang dicita-citakan bersama saat menggusur Nurdin. Kepengurusan baru yang terpilih, gagal merangkul pihak-pihak yang berseteru untuk menuju sepak bola yang lebih baik.
Gerbong reformasi sepak bola itu justru terbelah. Selain kubu PSSI - yang notebene diakui FIFA - elit sepak bola nasional lainnya membentuk federasi tandingan, Komite Penyelamat Sepak bola Indonesia (KPSI).
Pangkal masalah terbelahnya elit sepak bola nasional ini tak lain adalah soal kompetisi liga. Dua kubu itu saling mengklaim sebagai pengelola sah kompetisi sepak bola nasional. PSSI dengan Liga Primer Indonesia (IPL) dan KPSI dengan Liga Super Indonesia (LSI).
Selanjutnya, perang antara dua kubu itu makin sengit. PSSI menuduh KPSI adalah lembaga ilegal. Sebaliknya, KPSI mengklaim PSSI sudah tidak memiliki legitimasi lagi karena sebagian besar anggotanya sudah mengeluarkan mosi tidak percaya. Saling klaim dan tuding inilah yang hingga kini menjadi duri dalam dagin sepak bola nasionaal.
Berbagai upaya ditempuh untuk mendamaikan kedua kubu. Mulai pemerintah, konfederasi sepak bola Asia (AFC), hingga FIFA telah turun tangan. Namun, permasalahan tak kunjung selesai, bahkan bisa dibilang semakin kusut.
Keadaan makin runyam saat Menteri Pemuda Olah Raga (Menpora) Andi Mallarangeng mengundurkan diri. Agung Laksono yang ditunjuk sebagai pelaksana tugas (Plt) Menpora juga gagal mencapai kata sepakat dengan kedua kubu. Hasilnya, KPSI dan PSSI menggelar kongres sendiri-sendiri.
Sepak bola Indonesia pun di ambang ketidakpastian. Padahal, pesan FIFA dan AFC sudah jelas: jika hingga 10 Desember konflik sepak bola tidak selesai, Indonesia akan dikenai sanksi. Sanksi sangat berat, keanggotaan Indonesia di FIFA akan dibekukan, yang artinya Tim Merah Putih tidak bisa mengikuti kompetisi internasional.(Metronews)
No comments:
Post a Comment