Terdakwa kasus penyuapan anggota DPR Miranda Swaray Goeltom dalam persidangan di Pengadilan Tipikor. Jaksa Penuntut Umum mendakwa mantan deputi gubernur senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom terlibat upaya penyuapan anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 lalu.
Pada sidang perdana kasus suap pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia 2004, jaksa penuntut umum Supardi mengatakan Miranda Swaray Goeltom, bersama pengusaha Nunun Nurbaeti, turut memberikan cek pelawat senilai Rp 24 miliar kepada sejumlah anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004.
Ketua Jaksa Penuntut Umum Supardi menyatakan pemberian cek perjalanan tersebut terkait dengan pemenangan Miranda Swaray Goeltom sebagai deputi gubernur senior Bank Indonesia. Supardi juga mengatakan bahwa Miranda bersama Nunun telah mengatur sejumlah pertemuan dengan anggota DPR untuk mengarahkan pertanyaan dalam proses uji kelayakan dan kepatutan pemilihan deputi gubernur pada 2004 lalu.
Miranda didakwa dengan pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 250 juta.
“[Terdakwa] memberi hadiah berupa cek perjalanan Bank Internasional Indonesia senilai Rp 20,850 milliar melalui Ahmad Hakim Safari MJ alias Arie Malangyudo yang merupakan bagian dari 480 lembar travel cheque senilai Rp24 miliar kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yaitu antara lain kepada Hamka Yandhu (Fraksi Golkar), Duddy Makmun Murod (Fraksi PDI Perjuangan), dan Endin AJ Sofiara (Fraksi PPP) selaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia periode 1999-2004,” ujar Supardi.
Menanggapi dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Miranda langsung mengajukan keberatan. Ia mengatakan tidak mengetahui atau diberitahu oleh Nunun atau siapapun mengenai adanya keinginan atau pembagian cek pelawat kepada anggota komisi keuangan DPR.
Miranda juga meminta kepada Majelis Hakim untuk mempertimbangkan secara jernih dakwaan Jaksa Penuntut Umum karena menurutnya jaksa sangat memaksakan kehendaknya dan hanya menggunakan asumsi dalam membuat surat dakwaan.
“Bahwa saya tidak pernah memberikan, menjanjikan dan ataupun menganjurkan kepada siapapun untuk memberi apapun baik sebelum maupun sesudah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia,” ujarnya.
Peneliti hukum dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan kasus suap cek pelawat tidak boleh berhenti pada Miranda Swaray Goeltom saja.
Komisi Penanggulangan Korupsi (KPK), menurut Donal, harus mengungkap siapa penyandang dana cek pelawat yang dibagikan kepada anggota DPR periode 1999-2004 itu. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka Donal memastikan peristiwa seperti ini akan terjadi lagi.
“Miranda hanya seorang eksekutor, orang yang ditanam pengusaha, kelompok tertentu di Bank Indonesia. Kalau tidak menyentuh aktor utama tentu para pengusaha dan kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan bisnis mereka tentu akan mencari Miranda-Miranda lain,” ujar Donal.
Sebelumnya Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan KPK akan terus mengungkap kasus cek pelawat ini.
Sebanyak 28 orang anggota DPR telah diproses hukum karena keterlibatannya dalam kasus ini, termasuk Nunun Nurbaeti, istri mantan wakil kepala Kepolisian Republik Indonesia Komisioner Jenderal (purn.) Adang Daradjatun. Nunun telah divonis 2 tahun 6 bulan penjara sementara sebagian besar anggota DPR yang terlibat telah menyelesaikan hukuman penjaranya.
Pada sidang perdana kasus suap pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia 2004, jaksa penuntut umum Supardi mengatakan Miranda Swaray Goeltom, bersama pengusaha Nunun Nurbaeti, turut memberikan cek pelawat senilai Rp 24 miliar kepada sejumlah anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004.
Ketua Jaksa Penuntut Umum Supardi menyatakan pemberian cek perjalanan tersebut terkait dengan pemenangan Miranda Swaray Goeltom sebagai deputi gubernur senior Bank Indonesia. Supardi juga mengatakan bahwa Miranda bersama Nunun telah mengatur sejumlah pertemuan dengan anggota DPR untuk mengarahkan pertanyaan dalam proses uji kelayakan dan kepatutan pemilihan deputi gubernur pada 2004 lalu.
Miranda didakwa dengan pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 250 juta.
“[Terdakwa] memberi hadiah berupa cek perjalanan Bank Internasional Indonesia senilai Rp 20,850 milliar melalui Ahmad Hakim Safari MJ alias Arie Malangyudo yang merupakan bagian dari 480 lembar travel cheque senilai Rp24 miliar kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yaitu antara lain kepada Hamka Yandhu (Fraksi Golkar), Duddy Makmun Murod (Fraksi PDI Perjuangan), dan Endin AJ Sofiara (Fraksi PPP) selaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia periode 1999-2004,” ujar Supardi.
Menanggapi dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Miranda langsung mengajukan keberatan. Ia mengatakan tidak mengetahui atau diberitahu oleh Nunun atau siapapun mengenai adanya keinginan atau pembagian cek pelawat kepada anggota komisi keuangan DPR.
Miranda juga meminta kepada Majelis Hakim untuk mempertimbangkan secara jernih dakwaan Jaksa Penuntut Umum karena menurutnya jaksa sangat memaksakan kehendaknya dan hanya menggunakan asumsi dalam membuat surat dakwaan.
“Bahwa saya tidak pernah memberikan, menjanjikan dan ataupun menganjurkan kepada siapapun untuk memberi apapun baik sebelum maupun sesudah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia,” ujarnya.
Peneliti hukum dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan kasus suap cek pelawat tidak boleh berhenti pada Miranda Swaray Goeltom saja.
Komisi Penanggulangan Korupsi (KPK), menurut Donal, harus mengungkap siapa penyandang dana cek pelawat yang dibagikan kepada anggota DPR periode 1999-2004 itu. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka Donal memastikan peristiwa seperti ini akan terjadi lagi.
“Miranda hanya seorang eksekutor, orang yang ditanam pengusaha, kelompok tertentu di Bank Indonesia. Kalau tidak menyentuh aktor utama tentu para pengusaha dan kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan bisnis mereka tentu akan mencari Miranda-Miranda lain,” ujar Donal.
Sebelumnya Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan KPK akan terus mengungkap kasus cek pelawat ini.
Sebanyak 28 orang anggota DPR telah diproses hukum karena keterlibatannya dalam kasus ini, termasuk Nunun Nurbaeti, istri mantan wakil kepala Kepolisian Republik Indonesia Komisioner Jenderal (purn.) Adang Daradjatun. Nunun telah divonis 2 tahun 6 bulan penjara sementara sebagian besar anggota DPR yang terlibat telah menyelesaikan hukuman penjaranya.
No comments:
Post a Comment