Pukul 10.15 WIB tadi, seorang yang pernah begitu penting bagi negeri ini di masanya, meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta.
Dia adalah Laksamana (Purn) Sudomo, mantan Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) di masa Orde Baru.
Sudomo lahir di Malang, Jawa Timur, 86 tahun lalu, tepatnya 20 September 1926.
Pada 1943, dia menamatkan pendidikan SMP, lalu melanjutkan ke sekolah menengah pelayaran yang akhirnya mengantarkannya kepada dunia militer.
Dia lalu menyelami pendidikan Perwira Special Operation, kemudian kursus Komando Destroyer Gdyna di Polandia.
Karir militernya terbilang sukses. Berbagai pertempuran besar diikutinya, termasuk pertempuran masyur di Laut Arafuru pada masa pemerintahan Soekarno saat Indonesia melancarkan kampanye pembebasan Irian Barat dari Belanda.
Di masa awal sampai jayanya Orde Baru, dia begitu dipercayai oleh sang pemimpin rezim, Soeharto. Dia pernah mengemban tugas Kepala Staf TNI AL pada priode 1969-1973.
Lima tahun setelah itu dia mengomandani salah satu pos terpenting stabilitas rezim di masa itu dengan menjadi Pangkopkamtib, mulai 1978 sampai 1983. Tugasnya adalah memelihara stabilitas keamanan nasional. Sebuah tugas yang maha berat.
Kopkamtib didirikan pada 10 Oktober 1965. Organisasi ini ada dibawah langsung Presiden Soeharto.
Tidak hanya sukses di matra militer, Sudomo juga sukses di bidang pemerintahan. Dia malang melintang di birokrasi nasional, dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia priode 1983–1988, sampai menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolkam) priode 1988–1993.
Usai memanggul fungsi Menkopolkam dia menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) priode 1993-1998.
Beriringan dengan jatuhnya Orde Baru pada 1978, maka karir Sudomo di pemerintahan pun berakhir.
Posisi-posisi politik dan militer yang teramat penting yang diembannya menuai kecurigaan dari sementara kalangan bahwa dia adalah kroni Soeharto.
Ketika menjabat Pangkopkamtib dan Menkopolkam semasa Orde Baru, Sudomo mengambil langkah-langkah kebijakan yang dinilai banyak kalangan kontroversial.
Di bawah komandonya pula, Orde Baru menerapkan UU Subversif yang memberikan hak penuh kepada dinas intelijen untuk mencucuk siapapun yang ditengarai bakal mengacaukan negara.
Namun dia terkenal piawai menyelesaikan konflik-konflik sosdial dan banyak kemelut politik.
Bersama Jendral LB Moerdani dan Yoga Soegama, mereka adalah tiga serangkai yang amat mempengaruhi wajah intelijen nasional.
Dia memang kerap disambungkan dengan berbagai kasus pelanggaran HAM seperti Kasus Talangsari di Lampung pada 1989 atau larinya koruptor Edi Tansil ke luar negeri, tetapi Sudomo tetaplah seorang pribadi yang hangat dan turut memberi sumbangsing bagi bangsa ini.
Dia pernah mengakui hidupnya baru dimulai pada usia 75 tahun. Dia mengaku di kesenjaan hidupnya, kegiatan agama dan salat berjamaah lima waktu di masjid selalu mengisi dan mengiringi sisa hidupnya.
Pada satu kesempatan Sudomo bahkan pernah mengaku murtad dari agamanya, dan kembali sadar ke agamanya pada 1997.
Di usianya yang teramat renta, Sudomo mesti berjuang keras melawan pendarahan pada otaknya. Puncaknya, Sabtu pekan lalu, dia terpaksa menjalani rawat inap di RS Pondok Indah Jakarta.
Tragisnya, pendarahan pada otaknya itu terjadi ketika dia hendak menghadiri pernikahan keluarga. Selamat jalan Pak Domo.
Sumber : Klik Disini
Dia adalah Laksamana (Purn) Sudomo, mantan Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) di masa Orde Baru.
Sudomo lahir di Malang, Jawa Timur, 86 tahun lalu, tepatnya 20 September 1926.
Pada 1943, dia menamatkan pendidikan SMP, lalu melanjutkan ke sekolah menengah pelayaran yang akhirnya mengantarkannya kepada dunia militer.
Dia lalu menyelami pendidikan Perwira Special Operation, kemudian kursus Komando Destroyer Gdyna di Polandia.
Karir militernya terbilang sukses. Berbagai pertempuran besar diikutinya, termasuk pertempuran masyur di Laut Arafuru pada masa pemerintahan Soekarno saat Indonesia melancarkan kampanye pembebasan Irian Barat dari Belanda.
Di masa awal sampai jayanya Orde Baru, dia begitu dipercayai oleh sang pemimpin rezim, Soeharto. Dia pernah mengemban tugas Kepala Staf TNI AL pada priode 1969-1973.
Lima tahun setelah itu dia mengomandani salah satu pos terpenting stabilitas rezim di masa itu dengan menjadi Pangkopkamtib, mulai 1978 sampai 1983. Tugasnya adalah memelihara stabilitas keamanan nasional. Sebuah tugas yang maha berat.
Kopkamtib didirikan pada 10 Oktober 1965. Organisasi ini ada dibawah langsung Presiden Soeharto.
Tidak hanya sukses di matra militer, Sudomo juga sukses di bidang pemerintahan. Dia malang melintang di birokrasi nasional, dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia priode 1983–1988, sampai menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolkam) priode 1988–1993.
Usai memanggul fungsi Menkopolkam dia menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) priode 1993-1998.
Beriringan dengan jatuhnya Orde Baru pada 1978, maka karir Sudomo di pemerintahan pun berakhir.
Posisi-posisi politik dan militer yang teramat penting yang diembannya menuai kecurigaan dari sementara kalangan bahwa dia adalah kroni Soeharto.
Ketika menjabat Pangkopkamtib dan Menkopolkam semasa Orde Baru, Sudomo mengambil langkah-langkah kebijakan yang dinilai banyak kalangan kontroversial.
Di bawah komandonya pula, Orde Baru menerapkan UU Subversif yang memberikan hak penuh kepada dinas intelijen untuk mencucuk siapapun yang ditengarai bakal mengacaukan negara.
Namun dia terkenal piawai menyelesaikan konflik-konflik sosdial dan banyak kemelut politik.
Bersama Jendral LB Moerdani dan Yoga Soegama, mereka adalah tiga serangkai yang amat mempengaruhi wajah intelijen nasional.
Dia memang kerap disambungkan dengan berbagai kasus pelanggaran HAM seperti Kasus Talangsari di Lampung pada 1989 atau larinya koruptor Edi Tansil ke luar negeri, tetapi Sudomo tetaplah seorang pribadi yang hangat dan turut memberi sumbangsing bagi bangsa ini.
Dia pernah mengakui hidupnya baru dimulai pada usia 75 tahun. Dia mengaku di kesenjaan hidupnya, kegiatan agama dan salat berjamaah lima waktu di masjid selalu mengisi dan mengiringi sisa hidupnya.
Pada satu kesempatan Sudomo bahkan pernah mengaku murtad dari agamanya, dan kembali sadar ke agamanya pada 1997.
Di usianya yang teramat renta, Sudomo mesti berjuang keras melawan pendarahan pada otaknya. Puncaknya, Sabtu pekan lalu, dia terpaksa menjalani rawat inap di RS Pondok Indah Jakarta.
Tragisnya, pendarahan pada otaknya itu terjadi ketika dia hendak menghadiri pernikahan keluarga. Selamat jalan Pak Domo.
Sumber : Klik Disini
No comments:
Post a Comment