Tepat tanggal 29 Mei 2012 ini skandal lumpur Lapindo genap berusia 6 tahun. Dan selama 6 tahun itu semburan lumpur Lapindo terus berlangsung tanpa ada upaya cerdas dari negara dan Lapindo untuk mengatasinya. Setiap hari daya rusak semburan lumpur Lapindo terus meluas tanpa terkendali. Ancaman tidak hanya pada hilangnya ruang hidup bagi ratusan ribu warga, melainkan juga menurunnya kualitas hidup yang jauh dari kata layak. Sampai saat ini lebih dari 800 hektar area yang telah tenggelam oleh lumpur Lapindo, didalamnya termasuk rumah, sawah, sekolah, pabrik, rumah ibadah, jalan dan sebagainya.
Dalam siaran pers yang diterima Tribunnews.com dari Solidaritas Darurat Nasional Jawa Timur mengatakan upaya-upaya untuk mengatasi semburan lumpur Lapindo selama ini terkesan hanya sebatas proyek yang hanya menghabiskan uang negara (APBN) tanpa ada hasil yang memuaskan. BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah dalam menyelesaikan kasus semburan lumpur Lapindo justru mengecilkan persoalan lumpur Lapindo yang hanya sebatas urusan memperkuat tanggul penahan lumpur, pembuangan lumpur Lapindo ke Kali Porong, relokasi infrastruktur, dan ganti rugi aset warga yang tenggelam. Namun bagaimana penjaminan keselamatan warga selama ini, sama sekali diabaikan.
"Contohnya, mengenai pendidikan, dari 33 sekolah yang tenggelam dan tidak dapat digunakan lagi, sampai hari ini tidak ada satupun yang dibangun kembali oleh pemerintah maupun pihak Lapindo. Demikian pula dengan kondisi kesehatan korban Lapindo. Meski wilayah di sekitar lumpur Lapindo telah dinyatakan tidak layak huni dan banyak korban Lapindo yang jatuh sakit karenanya, namun pemerintah sama sekali tidak menjamin kesehatan warga, misalnya dengan memberi pengobatan secara gratis hingga sembuh. Sebagai contoh, beberapa korban Lapindo yang menderita kanker terpaksa harus berobat sendiri di tengah kondisi perekonomian mereka yang terpuruk. Hal serupa juga terjadi pada tingkat kesejahteraan korban Lapindo, dimana pasca semburan lumpur Lapindo ribuan orang mendadak menjadi pengangguran yang sebelumnya mayoritas korban mengandalkan pendapatannya dari sektor pertanian. Hingga saat ini pemerintah tidak berupaya untuk mengembalikan kesejahteraan warga tersebut dengan membuka lapangan pekerjaan bagi mereka," kata Koordinator Humas Solidaritas Nasional Jawa Timur, Yuliani, Senin(28/5/2012).
Daya rusak lumpur Lapindo yang terus meluas dan upaya penyelesaian yang tidak kunjung tuntas serta berbelit-belit, kata Yuliani mencerminkan bagaimana keberpihakan negara yang tidak berdaya di hadapan pemodal dan justru berpihak pada Lapindo selaku pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kejadian ini. Oleh karena itu lumpur Lapindo sangat layak disebut sebagai skandal dan menjadi preseden dalam dunia pertambangan. Hal inilah yang menginspirasi sekumpulan gerakan rakyat yang menjadikan momen 29 Mei tanggal awal terjadinya semburan lumpur Lapindo- sebagai Hari Anti Tambang.
Oleh karena itulah, dalam rangkaian memperingati 6 tahun Skandal lumpur Lapindo dan Hari Tambang tersebut kami dari Solidaritas Darurat Nasional (SDN) pada tanggal 28 Mei di Kampus Ubaya Surabaya, akan mengadakan Diskusi Publik 6 Tahun Skandal Lumpur Lapindo dengan tema “Pulihkan Hidup Kami, Selamatkan Negeri Ini”. Diskusi publik ini merupakan langkah untuk terus mengingatkan kepada masyarakat luas bahwa persoalan Lapindo masih jauh dari kata selesai.
"Aburizal Bakrie sebagai pemilik Lapindo malah sibuk bertebar pesona hendak mencalonkan Presiden 2014 dan membeli klub sepakbola di Australia serta di Belgia, dibandingkan bersegera mungkin menyelesaikan tanggung jawabnya dalam soal Lapindo. Selanjutnya, pada hari selasa 29 Mei kami akan mendukung penuh perjuangan dan aksi yang akan di lakukan oleh para korban lumpur Lapindo di Tanggul Penahan Lumpur di Porong yang mana menuntut agar semua hak-haknya segera dipenuhi," pungkasnya.
Dalam siaran pers yang diterima Tribunnews.com dari Solidaritas Darurat Nasional Jawa Timur mengatakan upaya-upaya untuk mengatasi semburan lumpur Lapindo selama ini terkesan hanya sebatas proyek yang hanya menghabiskan uang negara (APBN) tanpa ada hasil yang memuaskan. BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah dalam menyelesaikan kasus semburan lumpur Lapindo justru mengecilkan persoalan lumpur Lapindo yang hanya sebatas urusan memperkuat tanggul penahan lumpur, pembuangan lumpur Lapindo ke Kali Porong, relokasi infrastruktur, dan ganti rugi aset warga yang tenggelam. Namun bagaimana penjaminan keselamatan warga selama ini, sama sekali diabaikan.
"Contohnya, mengenai pendidikan, dari 33 sekolah yang tenggelam dan tidak dapat digunakan lagi, sampai hari ini tidak ada satupun yang dibangun kembali oleh pemerintah maupun pihak Lapindo. Demikian pula dengan kondisi kesehatan korban Lapindo. Meski wilayah di sekitar lumpur Lapindo telah dinyatakan tidak layak huni dan banyak korban Lapindo yang jatuh sakit karenanya, namun pemerintah sama sekali tidak menjamin kesehatan warga, misalnya dengan memberi pengobatan secara gratis hingga sembuh. Sebagai contoh, beberapa korban Lapindo yang menderita kanker terpaksa harus berobat sendiri di tengah kondisi perekonomian mereka yang terpuruk. Hal serupa juga terjadi pada tingkat kesejahteraan korban Lapindo, dimana pasca semburan lumpur Lapindo ribuan orang mendadak menjadi pengangguran yang sebelumnya mayoritas korban mengandalkan pendapatannya dari sektor pertanian. Hingga saat ini pemerintah tidak berupaya untuk mengembalikan kesejahteraan warga tersebut dengan membuka lapangan pekerjaan bagi mereka," kata Koordinator Humas Solidaritas Nasional Jawa Timur, Yuliani, Senin(28/5/2012).
Daya rusak lumpur Lapindo yang terus meluas dan upaya penyelesaian yang tidak kunjung tuntas serta berbelit-belit, kata Yuliani mencerminkan bagaimana keberpihakan negara yang tidak berdaya di hadapan pemodal dan justru berpihak pada Lapindo selaku pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kejadian ini. Oleh karena itu lumpur Lapindo sangat layak disebut sebagai skandal dan menjadi preseden dalam dunia pertambangan. Hal inilah yang menginspirasi sekumpulan gerakan rakyat yang menjadikan momen 29 Mei tanggal awal terjadinya semburan lumpur Lapindo- sebagai Hari Anti Tambang.
Oleh karena itulah, dalam rangkaian memperingati 6 tahun Skandal lumpur Lapindo dan Hari Tambang tersebut kami dari Solidaritas Darurat Nasional (SDN) pada tanggal 28 Mei di Kampus Ubaya Surabaya, akan mengadakan Diskusi Publik 6 Tahun Skandal Lumpur Lapindo dengan tema “Pulihkan Hidup Kami, Selamatkan Negeri Ini”. Diskusi publik ini merupakan langkah untuk terus mengingatkan kepada masyarakat luas bahwa persoalan Lapindo masih jauh dari kata selesai.
"Aburizal Bakrie sebagai pemilik Lapindo malah sibuk bertebar pesona hendak mencalonkan Presiden 2014 dan membeli klub sepakbola di Australia serta di Belgia, dibandingkan bersegera mungkin menyelesaikan tanggung jawabnya dalam soal Lapindo. Selanjutnya, pada hari selasa 29 Mei kami akan mendukung penuh perjuangan dan aksi yang akan di lakukan oleh para korban lumpur Lapindo di Tanggul Penahan Lumpur di Porong yang mana menuntut agar semua hak-haknya segera dipenuhi," pungkasnya.
No comments:
Post a Comment