Tuesday, January 28, 2014

Komersialisasi sekolah


Hiruk pikuk penerimaan siswa baru di tingkat dasar sampai menengah atas, telah berakhir dengan meninggalkan masalah pungutan dana yang tidak sejalan dengan suara nyaring sekolah gratis dari pemerintah. Bahkan, Ombudsman Republik Indonesia mengeluarkan laporan, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada 23 Provinsi Tahun Ajaran 2013/2014, bahwa terjadi pungutan liar berkisar dari Rp 100 ribu sampai di atas Rp 2 juta di berbagai jenjang pendidikan.
 
Aneka pungutan pada awal tahun ajaran baru di sekolah negeri, sesungguhnya mudah terdeteksi oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Sebab, pola penerimaan diatur secara terinci dengan aneka persayaratan, bersifat terbuka dan didukung oleh teknologi komunikasi memadai, yang memudahkan calon siswa bisa memilih sekolah sesuai dengan kemampuan belajarnya. Artinya, semua informasi seputar PPDB termasuk pungutan sekecil apapun yang diberlakukan, dengan mudah mengalir dan tersebar ke masyarakat luas.
 
Namun, pungutan terhadap murid baru di sekolah negeri, juga terjadi ketika pindah sekolah. Biasanya, itu terjadi tidak jauh dari penerimaan siswa baru dam tahun ajaran baru dimulai. Perpindahan murid di sekolah, khususnya pada jenjang Sekolah Menengah Atas kecenderungannya berulang setiap tahun. Itu terjadi atas alasah keterbatasan daya tampung sekolah, dan sering terjadi di sekolah favorit yang mematok persyaratan hasil Ujian Nasional (UN) rata-rata 8,00-9,50. Dengan standar nilai tinggi, tidak mungkin semua lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang mendaftar ke SMA favorit bisa ditampung. Tetapi, mereka yang gagal masuk sekolah favorit karena UN-nya tidak memenuhi syarat masih berharap bisa belajar di sekolah favorit pada pertengahan semester ganjil. Atau, awal semester genap yang dimulai Januari 2014.
 
Perpindahan murid di sekolah favorit ini, dan perpindaha murid pada umumnya berpotensi menjadi lahan komersialisasi pindah sekolah. Dengan model penerimaan murid tidak diumumkan kepada publik, tidak diberlakukan standar nilai minimal UN yang dicapai, dan tanpa kategori pembiayaan yang diatur pemerintah, jelas perpindahan yang terjadi cenderung tertutup dan tanpa patokan standar biaya.
 
Pertanyaannya adalah, adakah bangku kosong di sekolah negeri favorit, atau sekolah pada umumnya, yang disediakan untuk menerima murid pindahan kelas satu dari sekolah lain, sebab dipastikan semua bangku kelas satu sekolah menengah sudah terisi? Pada konteks ini, tentu saja ada bangku-bangku kosong di sekolah favorit pilihan masyarakat pada semester ganjil yang siap menerima murid pindahan. "Bangku kosong" di sekolah favorit bisa saja bersifat internal keluarga siswa baru atau masalah lain yang terkait perilaku siswa. Namun, potensi komersialnya adalah adanya murid kelas satu yang tidak tahan menghadapi tekanan belajar di SMA favorit ataupun unggulan.
 
Dalam kondisi ini, siswa baru kelas satu SMA yang tidak mampu mencapai standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk setiap mata pelajaran berpotensi mengundurkan diri. Lazimnya sekolah favorit ataupun unggulan KKM pada kisaran 75-85 dari maksimal 100. Tingginya KKM itu menjadi ancaman bagi siswa-siswa yang potensial tidak mampu mencapai KKM, dan mereka akan pindah ke sekolah yang KKM-nya lebih rendah.
Memang pihak sekolah sudah berupaya membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi kemampuan murid yang KKM-nya tidak memadai supaya bisa mencapai nilai ditetapkan sejalan dengan prinsip Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun persoalannya, ketika siswa sudah terperangkap dalam stigmatisasi "tidak mampu" di sekolah favorit, pilihannya adalah mengundurkan diri daripada terlanjur tidak naik ke kelas dua.
Diatur
Bangku kosong di sekolah negeri favorit itu merupakan peluang bagi siswa yang tidak diterima melalui jalur reguler PPDB. Namun, yang mengkhawatirkan adalah mereka yang berupaya pindah ke sekolah favorit tidak menghiraukan besarnya pungutan pindah sekolah. Ironisnya, biaya tinggi pindah sekolah negeri favorit dinilai lazim oleh orang tua murid karena masuk sekolah negeri favorit tidak melewati jalur reguler PPDB.
Masalahnya, siswa kelas satu SMA favorit yang pindah ke sekolah lebih rendah terpaksa mengeluarkan biaya pindah sekolah. Jelas ini menjadi persoalan bagi orangtua murid yang berharap biaya gratis di sekolah negeri. Bagaimanapun juga, mereka yang terpaksa pindah itu tidak selalu mampu menyediakan dana biaya pindah ke sekolah baru. Sebaliknya, mereka yang berupaya mati-matian pindah ke sekolah favorit di semester ganjil, bisa dipastikan memang sudah mempersiapkan dana memadai.
 
lain selalu terjadi setiap tahun, namun pemegang otoritas pendidikan di pusat maupun di daerah sepertinya kurang menghiraukan kecenderungan komersialisasi pindah sekolah ini. Biaya pindah sekolah yang tidak baku ini dikhawatirkan akan terus berlanjut, dan semakin merugikan citra pendidikan di sekolah negeri.
 
Karena itu, demi mendukung pendidikan bermartabat, yang mampu membangun integritas dan transparansi dunia pendidikan di Indonesia, sudah selayaknya biaya pindah sekolah itu diatur oleh pemerintah. Sudah barang tentu termasuk mematok nilai UN, bersifat terbuka dan gratis atau tidak dipungut biaya.
Jika pungutan pindah sekolah di tengah proses belajar mengajar ini dibiarkan, dilembagakan, dan dianggap sebagai gejala yang wajar oleh para pemegang otoritas pendidikan dan orangtua murid, bukan mustahil akan berdampak terhadap turunnya kredibilitas negara dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik. *** 
 
Penulis adalah Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Tarumanagara Jakarta.

No comments:

Post a Comment