Berita Gunung Merapi kembali meletus dini hari tadi, lebih dahsyat dari letusan pertama pada 26 Oktober 2010 lalu. Bahkan, yang terakhir ini mungkin yang terdahsyat dalam kurun waktu 100 tahun terakhir.
Letusan Merapi telah merenggut 69 jiwa. Awan panas menerjang Desa Argomulyo yang jaraknya 18 kilometer dari puncak gunung. Ini kali pertamanya malapetaka terjadi di sana. Sementara, kota Yogyakarta sedang bersiap menghadapi banjir lahar dingin. Status Siaga I diberlakukan.
Apakah Merapi akan berangsur normal atau justru sedang bersiap memuntahkan energi yang lebih besar, belum ada jawaban pasti.
Baru saja ada diskusi antara para geolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Earth Observatory of Singapore (EOS) tentang kondisi Merapi. Menurut sumber yang dapat dipercaya, ada sejumlah kesimpulan yang ditarik dari diskusi tersebut.
Pertama, letusan Merapi saat ini berbeda dengan letusan sebelumnya sejak tahun 1870-an. Letusan sebelumnya berasal dari magma dangkal, dengan kedalaman sekitar 2 kilometer.
"Sekarang tipe eksplosif karena kelihatannya berasal dari magma yang sangat dalam, 6 sampai 10 kilometer," demikian informasi yang diperoleh VIVAnews, Jumat, 5 November 2010.
Situasi juga jadi makin sulit untuk diprediksi. Salah satu sebabnya: peralatan yang masih berfungsi hanya seismometer. Sementara, alat lainnya seperti alat monitoring deformasi (EDM dan tilt meter), alat pencatat gas, dan alat monitoring visual, rusak. Karena itu, jangankan mengetahui apa yang terjadi dengan Merapi, untuk mengetahui apa saja aktivitas Merapi saat ini, sulit dilakukan.
"Apakah mungkin terjadi letusan yang lebih besar? Jawabannya, data yang ada tidak cukup untuk menjawab hal ini," salah satu geolog mengeluh.
Para geolog was-was karena mereka tidak bisa mengetahui berapa besar kantung magma-dalam dan berapa besar feeding dari bawah atau mantel Merapi. Meski demikian, ada cara lain untuk membantu memprediksi letusan selanjutnya, yakni dengan melihat komposisi kimia dari bahan-bahan yang dimuntahkan.
"Ini yang sedang dilakukan oleh para ahli di Yogyakarta," kata sumber itu.
Letusan Merapi telah merenggut 69 jiwa. Awan panas menerjang Desa Argomulyo yang jaraknya 18 kilometer dari puncak gunung. Ini kali pertamanya malapetaka terjadi di sana. Sementara, kota Yogyakarta sedang bersiap menghadapi banjir lahar dingin. Status Siaga I diberlakukan.
Apakah Merapi akan berangsur normal atau justru sedang bersiap memuntahkan energi yang lebih besar, belum ada jawaban pasti.
Baru saja ada diskusi antara para geolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Earth Observatory of Singapore (EOS) tentang kondisi Merapi. Menurut sumber yang dapat dipercaya, ada sejumlah kesimpulan yang ditarik dari diskusi tersebut.
Pertama, letusan Merapi saat ini berbeda dengan letusan sebelumnya sejak tahun 1870-an. Letusan sebelumnya berasal dari magma dangkal, dengan kedalaman sekitar 2 kilometer.
"Sekarang tipe eksplosif karena kelihatannya berasal dari magma yang sangat dalam, 6 sampai 10 kilometer," demikian informasi yang diperoleh VIVAnews, Jumat, 5 November 2010.
Situasi juga jadi makin sulit untuk diprediksi. Salah satu sebabnya: peralatan yang masih berfungsi hanya seismometer. Sementara, alat lainnya seperti alat monitoring deformasi (EDM dan tilt meter), alat pencatat gas, dan alat monitoring visual, rusak. Karena itu, jangankan mengetahui apa yang terjadi dengan Merapi, untuk mengetahui apa saja aktivitas Merapi saat ini, sulit dilakukan.
"Apakah mungkin terjadi letusan yang lebih besar? Jawabannya, data yang ada tidak cukup untuk menjawab hal ini," salah satu geolog mengeluh.
Para geolog was-was karena mereka tidak bisa mengetahui berapa besar kantung magma-dalam dan berapa besar feeding dari bawah atau mantel Merapi. Meski demikian, ada cara lain untuk membantu memprediksi letusan selanjutnya, yakni dengan melihat komposisi kimia dari bahan-bahan yang dimuntahkan.
"Ini yang sedang dilakukan oleh para ahli di Yogyakarta," kata sumber itu.
No comments:
Post a Comment