KOMPAS.com — Pesawat Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH370 hilang kontak sejak Sabtu (8/3/2014) pukul 02.40 waktu setempat. Hilang kontak terjadi kurang lebih 2 jam setelah pesawat dengan rute Kuala Lumpur-Beijing itu lepas landas pada pukul 00.41 dini hari.
Kasus hilangnya MH370 dinilai janggal. Pertama, pesawat itu terbang di ketinggian yang paling aman, sekitar 35.000 kaki. Kedua, Malaysia Airlines dinilai sebagai operator penerbangan yang baik. Ketiga, Boeing 777-200 adalah pesawat dengan dukungan keselamatan terbaik saat ini.
Bagaimana MH370 bisa hilang? Itu masih misteri. Namun, hilangnya pesawat dan kemungkinan jatuhnya pesawat, seperti pada MH370, ternyata bukan pertama kali terjadi. Kasus serupa pernah menimpa maskapai negara lain, termasuk Indonesia.
"Sebenarnya ada kasus yang mirip dengan hilangnya Malaysia Airlines ini, yaitu Air France (AF447) yang jatuh di Atlantik dan Adam Air (DHI 574) yang jatuh di Perairan Majene," ujar pengamat penerbangan, Dudi Sudibyo.
"Pesawat tiba-tiba hilang kontak kurang lebih dua jam setelah lepas landas dan saat terbang di ketinggian yang sebenarnya paling aman," ungkap Dudi saat dihubungi oleh Kompas.com, Minggu (9/3/2014).
Dalam kasus Adam Air, pesawat lepas landas pada 1 Januari 2007 pukul 12.55 WIB dari Bandara Juanda, Surabaya, menuju Bandara Sam Ratulangi, Manado. Namun, pesawat kemudian hilang kontak sejak pukul 15.05 Wita.
Pada kasus Air France, pesawat berangkat dari Bandara Rio de Janeiro-Galeao pada 31 Mei 2009 pada pukul 22.29 UTC menuju Bandara Charles de Gaulle, Paris. Seharusnya, pesawat itu tiba 10 jam 34 menit setelah penerbangan. Namun, 3 jam 6 menit setelah lepas landas, pesawat hilang kontak.
Dalam kasus Adam Air dan Air France, yang terjadi ternyata adalah kecelakaan pesawat. Kedua pesawat itu jatuh di lautan. Dalam kasus Malaysia Airlines, kecelakaan hingga jatuh ke laut masih dianggap sebagai skenario terburuk dari kasus hilang kontak ini.
Menurut Dudi, ada dua kemungkinan pesawat bisa hilang kontak pada ketinggian yang paling aman. Pertama adalah masalah teknis yang sulit atau tidak segera dikendalikan pilot. Kedua adalah sabotase, yang dalam kasus Malaysia Airlines dikaitkan dengan terorisme.
"Kalau pada Adam Air, seperti yang kita ketahui yang terjadi adalah masalah teknis," kata Dudi. Bagian pesawat yang disebut internal reference system (IRS) rusak. Bagian ini seharusnya diganti oleh manajemen maskapai, namun hal itu tidak dilakukan.
Kerusakan IRS berdampak pada tak berfungsinya kemudi otomatis. Akhirnya, pilot tak sadar bahwa pesawat miring. Perubahan kemiringan terjadi 1 derajat per detik. Ketika kemiringan sudah lebih dari 35 derajat, pesawat tak stabil.
Kemiringan terus berubah hingga mencapai 100 derajat. Ketika pesawat makin tak stabil, pilot sudah kesulitan untuk membalikkan dan menstabilkan lagi. Akhirnya, pesawat pun jatuh ke laut, terbelah dua.
"Kasus Malaysia Airlines ini bisa saja dipicu masalah teknis walaupun saya tidak mengesampingkan unsur sabotase," ujar Dudi. Namun, hal itu masih harus dibuktikan dengan mencari dan menyelidiki kotak hitam.
Pencarian kotak hitam, Dudi menduga, takkan mudah jika pesawat memang jatuh di lautan. Pada kasus Adam Air, kotak hitam baru ditemukan setahun kemudian di dasar laut berkedalaman 2.000 meter. Sementara pada kasus Air France, kotak hitam baru ditemukan pada Mei 2011. Laporan resmi penyebab kecelakaan baru dirilis 5 Juli 2012.
No comments:
Post a Comment