Tuesday, May 31, 2011

Indah Dewi Pertiwi Gadis Desa Hijrah ke Kota (1)


Dara manis yang lahir pada 30 Januari 1991 ini terbilang masih sangat belia. Tapi, bakatnya di bidang tarik suara membuat namanya terangkat di industri musik tanah air. Semasa kecil ia dididik keras untuk bersekolah. Walau begitu, Indah kecil mengaku memang sering berakting layaknya artis.
Aku sebenarnya terlahir dengan nama Indah Pertiwi. Aku anak pertama dari empat bersaudara. Adikku dua laki-laki dan satu perempuan. Usiaku dengan mereka terpaut lumayan jauh. Masa kecilku banyak dihabiskan di Desa Cibeureum, terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Jadi, pematang sawah dan sungai adalah pemandangan dan tempat mainku sehari-hari.
Mamaku, Yuyu Wahyuni, keturunan Jawa dan Papaku, Rohdi, asli Bogor. Sebelum punya adik, aku senang sekali bisa bermanja-manja pada Papa dan Mama. Papa seorang wiraswastawan, memiliki usaha produksi sandal yang sudah turun-temurun dimiliki keluarga. Mulai dari mendesain, membuat, dan memasarkannya beliau lakukan sendiri. Karena pekarangan rumahku cukup luas, dibuatlah bengkel produksi sepatu yang menampung para perajin. Mereka semua bekerja pada Papa. Sedangkan Mama, hanya ibu rumah tangga biasa yang merawatku dan adik-adik.
Menurut orangtuaku, waktu kecil aku tergolong manja dan cengeng. Sebentar-sebentar pasti menangis. Ke sekolah pun harus selalu diantar. Aku juga selalu ingin diperhatikan. Saking cengengnya, ketika sahabatku, Yanti, tak masuk sekolah dan aku sendirian tanpa dia, aku juga menangis. Untung saja guru kelasku masih temannya Mama, jadi Mama menitipkanku kalau saja aku menangis.
Ya, bagaimana lagi, rasanya saat itu aku memang tak bisa ditinggal sendirian. Ketika adikku yang kedua lahir, aku sudah lebih bisa mengerti situasi. Karena di rumah tak punya pembantu, aku suka membantu Mama masak di dapur. Jika tiba waktunya bermain, aku lebih suka memanjat pohon jambu yang ada di depan rumah. Sambil bawa bekal makanan, aku dan teman-teman juga suka ke sawah dan bermain air di sungai. Sungguh menyenangkan.
Aku menghadiri pesta ulang tahun sepupuku. Ketika itu, aku (x) masih duduk di kelas 5 SD (Foto: Dok Pri)
Terlatih Disiplin
Waktu kecil aku sangat dekat dengan Papa. Tapi, beliau sangat keras dalam mendidik anak. Baik untuk urusan sekolah, belajar, waktu tidur, hingga main. Di kampungku memang kental dengan nuansa religius. Rumahku kebetulan berdekatan dengan rumah keluarga besar Papa. Sekolah pun jaraknya tak jauh. Jadwalku setiap hari, mulai pagi hingga siang aku sekolah, pulangnya mengaji dan dilanjutkan belajar. Setiap tiba waktu Maghrib, aku harus berdiam diri di rumah. Ya, aku memang anak rumahan.
Aku suka sekali menonton film kartun. Setiap hari Minggu, aku pasti bersiap di depan televisi, menunggu tayangan favoritku, Doraemon, Shinchan , dan Sailor Moon . Kadang, Mama mengajakku pergi ke rumah nenek. Waktu bermain memang sedikit longgar di akhir pekan. Tapi, tetap saja aku tak boleh main jauh-jauh. Meski disiplin, Papa sangat sayang pada anak-anaknya. Kadang, bila ada acara 17 Agustus-an, Papa suka mengajakku nonton layar tancap di lapangan.
Cara Papa mendidik anak memang keras, tapi terbukti ampuh. Disiplin yang diterapkan dalam belajar, membuatku mudah menyerap pelajaran dan menghadapi ulangan. Begitu pun untuk pendidikan agama, yang aku dapat dari mengaji. Oh ya, aku juga sering juara kelas, lho. Waktu SMP, aku bahkan dapat beasiswa. Kebetulan ketika SMP aku dapat kelas siang, jadi paginya Papa menyuruhku ikut les matematika dan Bahasa Inggris. Pokoknya, nyaris tiada hari tanpa belajar.
Aku saat masih kelas 1 SMP. Inilah masa-masa sabagai ABG yang punya kegiatan. Tak heran, kulitku pun menghitam. Ha ha ha ... (Foto: Dok Pri)
Speaker Aktif
Duduk di bangku SMP, aku mulai aktif dan gemar berolahraga. Di sekolah aku ikut ekstrakulikuler basket dan voli, juga paskibraka dan pramuka. Karena sering berpanas-panasan, tak heran kulitku jadi hitam. Di antara teman dekat, aku dijuluki “speaker aktif” karena gaya bicaraku yang ramai. Saat itu, aku sudah punya geng yang terdiri dari enam orang. Kami selalu bersama-sama.
Saking banyaknya kegiatan, prestasiku di sekolah sempat menurun. Apalagi saat itu aku sudah kenal yang namanya pacaran. Aku masih ingat, pertama kali pacaran dengan kakak kelas dua. Kami suka berkirim surat. Setiap pulang sekolah, kami jalan kaki sama-sama. Dari dia, aku kenal kakak-kakak kelas yang lain. Inginnya, sih, agar aman dari gojlokan, jadi pacaran dengan kakak kelas. Ha ha ha.. Untung saja, orangtuaku tak tahu aku pacaran. Kalau tahu, pasti aku dimarahi.
Sejak SMP aku memang senang bernyanyi. Mama sering menyetel lagu pop barat di rumah. Sedangkan Papa, sukanya lagu dangdut. Bila sedang menyapu halaman, aku suka pasang lagu agar makin semangat. Pulang sekolah juga begitu, sambil mematut diri di depan kaca, aku berakting layaknya pemain sinetron. Aku suka berkhayal jadi apa saja, terutama jadi artis.
Pernah, saat orangtuaku sedang makan, aku jalan bak peragawati di depan mereka. Sepatu tinggi milik Mama jadi korbannya. Akibatnya, aku diimarahi. Tapi, omong-omong soal sepatu, sejak remaja aku memang sudah gemar pakai sepatu hak tinggi. sementara bakat seni, menurun dari keluarga Mamaku. Ada keponakan beliau yang jadi penyanyi dari kafe ke kafe. Bagiku, menyanyi itu menyenangkan.
Tinggal Terpisah
Menginjak kelas 2 SMP, ada pentas seni kenaikan kelas. Sekolahku mengadakan lomba menyanyi seru-seruan ala Akademi Fantasi Indosiar (AFI), acara pencarian bakat yang populer pada masa itu. Dari tiap kelas dipilih satu orang perwakilan, pemenangnya diambil dari “voting ” lewat SMS. Yang kalah, turun dari panggung sambil membawa koper.
Saat itu aku menyanyikan lagu Bunda  milik Melly Goeslaw. Aku berhasil jadi juara pertama dan hadiahnya berupa peralatan sekolah. Lagu itu sangat mewakili perasaanku yang gundah melihat Mama dan Papa yang ketika itu kerap bertengkar. Mereka saling diam dan pisah rumah tanpa aku tahu mesti bagaimana. Bahkan aku sempat dipindahkan ke rumah nenek.
Ketika Mamaku selesai ambil rapor dan melihatku menyanyi di panggung, beliau menangis. Begitu juga teman-teman yang tahu keluh kesahku. Aku sangat sedih melihatnya. Lulus SMP, aku tinggal bersama nenek. Rumahnya berada di Cikaret, berdekatan dengan pusat Kota Bogor. Dulu, setiap bicara logat Sunda-ku sangat kental. Aku malu dan tak percaya diri karena sering diledek saudara-saudaraku yang tinggal di kota. Ya, namanya juga besar di kampung, tak heran lidahnya sudah terbentuk dengan logat itu. Ha ha ha..
Aku pindah atas pertimbangan orangtua. Meski uang saku tetap dikirim tiap bulan, mereka ingin anak pertamanya mandiri dan berani. Mama pernah bilang, agar aku punya pengetahuan luas dan bisa sekolah setinggi-tingginya. Dengan tinggal terpisah, menurut mereka, akan bermanfaat bagiku kelak.
Barulah aku mengerti, kehidupan kota sangat berbeda dengan di desa. Ramai oleh kendaraan dan hawanya tak sedingin seperti di desaku. Awalnya, aku sering menangis karena jauh dari keluarga. Dulu, bila ingin sesuatu bisa langsung dibelikan, kini aku harus mengatur sendiri uangku. Mengirit jajan pun aku lakukan, padahal di depan rumah nenek banyak tukang makanan yang lewat. Yang paling sering menengokku adalah Mama. Karena Papa sibuk di bengkel sepatunya. Karena itu, menginjak remaja aku jadi lebih dekat dengan Mama.
Ketika SMU, aku juga pernah ikut lomba, lho. Tapi, bukan menyanyi. Aku mulai senang ikut perlombaan model yang diadakan di mal. Jalan di catwalk , dandan, dan memilih baju, aku lakukan sendiri. Hasilnya, aku juara 2 dan dapat piala sekaligus uang tunai Rp 700 ribu. Rasanya senang sekali bisa cari uang sendiri.
Sementara prestasi sekolah, meski nilai dan ranking -nya tak seperti waktu di SMP, tapi aku sangat suka pelajaran akuntansi. Puas rasanya jika bisa memecahkan rumus hitung-hitungan ala ekonomi. Sejak saat itu, aku pun bercita-cita jadi seorang akuntan.
Namanya juga masa-masa SMU, aku mulai senang main dan nongkrong sepulang sekolah bersama teman dan saudara-saudaraku yang lain. Apalagi tak jauh dari sekolah ada mal. Pergaulan dan pertemananku pun bertambah luas. Beberapa kali aku juga pergi ke Jakarta untuk menemani mereka. Banyak teman, banyak rezeki. Aku percaya itu, karena berkat pertemananlah aku bisa mendapat informasi mengenai banyak hal dan kesempatan.




sumber

No comments:

Post a Comment